Rabu, 01 Januari 2014

Surat untuk Ibu



IBUKU ADALAH JIWAKU, INTI KEHIDUPANKU

Pinrang, 20 Desember 2013
            Sembah sujud Ananda!
            Ibu! Masih adakah lafadz doamu. Tolong disisakan untuk Ananda, ya. \Sebentar lagi, saya akan ujian. Seabrek mata ujian dan seratusan jumlah nomornya, jadi enteng jika sebait doamu ke luar dari bibirmu. Oh iya, tidak lupa Ananda mengirimkan doa ke langit ke tujuh. Sekhusyu-khusynya, agar sepintal nafasmu terus tersulur dalam kubah keilahian.  

            Sembah takzim Ananda!
            Ibu! Tiga belas tahun telah berlalu. Tahukah apa artinya itu, Bu? Itu artinya, air susumu telah sekian lama mengalir, lalu membentuk Ananda menjadi manusia terbaik saat ini, terbaik di antara teman-teman sekelas. Ananda menjadi siswa riang-periang, lincah, dan tumbuh sehat akhirnya.
            Ibu! Ananda paham soal ini, dan tentu Ibu lebih paham karena dikau seorang bidan. Ya, profesimu itulah sehingga dikau memperhatikan hal ini. Apa itu? Ibu tentu tahu. Sejak nol hari hingga enam bulan umurku, asupan gizi yang dikau berikan hanya air susumu, tidak ada yang lain. Terima kasih, ya. Dua tahun engkau memberikan. Hmm, dua jempol untukmu?
            Ibu! asupan lain yang dikau berikan adalah gizi ikhlas. Terima kasih sekali lagi! Tanpa ini, tentu Ananda akan seperti teman-teman lain. Mereka diteteki dengan emosi dan amarah. Diasupi dengan susu binatang. Dikau tahu Ibu? Tak ada amarah ke luar dari bibirmu. Hanya senyuman, dulu hingga kini. Masih adakah senyuman itu? Hmm, terus alirkan ya.
Ibu! Ananda percaya, bahwa aku berhasil seperti sekarang semua kasih sayangmu itu. Doa, asi, ikhlas dan senyuman. Makasih ya!

            Sembah sayang buatmu, Bu!
            Ibu, apakah Ananda masih bisa meminta, setelah kasih sayangmu membahasi sekujur tubuh? Bisa ya, Ananda meminta! Jika bisa Bu, Ananda ingin mempersembahkan seluruh jiwa raga, Ananda. Lahir hingga disemai sekatum batinku Tentu dikau terkekeh mendengar kalimat ini. Tapi yakin, semenjak Ananda masuk dan mengikuti semua aktivitas belajar di sekolah berasrama, SMA Negeri 3 Unggulan, serangkai wajahmu mengepul hingga mengusik hari-hari Ananda berikutnya. Sungguh, aku baru bisa mengejanya, betapa sesasih sayang menjadi emas batang, begitu berharga saat ini.
            Ibu, apakah dikau masih terkekeh? Sungguh, darai gelas hati nan bening mencipta, bahwa dikau adalah sosok, layak dan sangat layak untuk di-AGUNG-kan di muka  bumi.  

ketika Ananda meminta, dikau memberi.
ketika Ananda berduka, dikau penghapus luka,
ketika Ananda sedih, dikau bilah penawarnya.
adakah yang menyamai semua itu, setelah Tuhan. Tentu tak ada. Karena dikau adalah malaikat, selalu memberi sayap. Dikau adalah teman, selalu memberi senyum, dikau adalah guru, selalu member ajaran pembenaran. Duh, entah apa lagi seuntai kata terucap untuk mengeja jasa. Biar dikau sejenak diam, menerima pinta Ananda saat ini.
Ibu, aku sungguh rindu!duka ku redam  suka pun aku hanya diam . Kau ada di rumah, aku di sini di sekolah berasrama. Jarak yang memisahkan, sehingga ada satu pinta untuk dirimu. Apa itu? Kecupan. Ya, aku ingin mengecup pipimu. Itu mungkin kecil, tapi amat berarti bagiku saat ini. Kecupan untuk mengungkapkan rasa sesayangku kepadamu. Percayalah, usai aku mengecupnya, rangking satu di kelas akan Ananda persembahkan. Aku sangat yakin akan hal itu, apalagi ujian esok hari jadi lancar atas reruntuhan doamu yang terjatuh di muka bumi, tepatnya di hati Ananda.
Ya Ibu! Kecupan itu, Ananda akan persembahkan di hari ulang tahunku. Tepat saat hari menerima rapor. Kebetulan? Ya, sangat kebetulan. Di situ, saya percaya, akan menjadi terbaik di antara teman-temanku di kelas. Rangking satu, Bu. Upts, mungkin terlalu berlebihan! Tapi saya sangat percaya ‘ruh’ seorang ibu. Kan terbukti dengan dengan doa, asi, ikhlas dan senyuman yang diuntai dan kau berikan. Makasih sekali lagi.
Janji, saya berjanji, Jika Ibu datang ke sekolahku, kali ini, Ananda tidak meminta kue tar dan empat belas lilin menyala. Sungguh! Aku tidak butuh itu? Bukan! Aku membutuhkan dirimu. Datanglah, bawakan kembali sekujur tubuhmu maka kupeluk, Bu. Itu bukti terima kasih, atas semua jiwa yang telah ibu berikan. Di sekolahku ini, aku akan memetik lagi kembang putih di kepalamu, sebagaimana sering kau pinta, sebelum aku masuk di asrama ini.

Sembah telimpuh Ananda,
Bu, semua yang dipintal di surat ini sebelumnya, tentu masih lama. Sekitar dua minggul lagi dari sekarang. Di acara penerimaan rapor itu, ya di hari ulang tahunku itu. Di acara itu, aku yang kini menjabat sebagai ketua Osis, akan mengusahakan dan meminta ke pembina Osis, agar orang tua diberikan kesempatan untuk memberikan sambutan dua tiga kata. Ya, tentu kau itulah orang Bu, karena aku yakin meraih nilai terbaik di antara teman-teman. Seberapa yakin? Sangat yakin, Bu. Ulangan harian, tugas, termasuk pujian guru-guru di kelas menjadi indicator, bahwa aku akan menjadi siswa peringkat terbaik.
Bu, aku meminta untuk itu. Apa? Ya, siapkanlah pidatomu saat ini, bahwa ibu itu adalah surga kepada anak-anaknya. Di mana? Ya dari air susu yang diberikan secara ikhas, doa, dan senyuman. Bu, sangat ingin di hari itu, semua orang tua juga teman-temanku memahami soal ini. Bahwa generasi muda dibentuk karena potret terbaik dari seorang ibu. Tampillah, Bu. Itu panggung untukmu. Biar teman, guru, juga orang tua yang lain bisa paham, bahwa engkau adalah bulir kesegaran yang merengkuh jiwa raga aku.
Bu, jika pun akhirnya Tuhan berkata lain. Semisal ada biji keraguan, bahwa aku tidak peringkat satu di saat itu, ndak apa-apa. Toh aku masih punya orang terbaik di muka bumi. Toh, esok masih ada. Toh aku masih punya doa, ikhlas, dan senyuman yang kau tebar setiap detak waktu. Jika toh, kau tidak menyumbang dua kata di kata sambutan, di acara itu masa ada harapan di tahun berikut dan tahun berikutnya. Toh, aku juga akan tampil memberikan kata sambutan selaku ketua osis. Tentu, di situ, namamu akan terukir dari bibir. Membingkai wajahmu nan anggun.
Sembuh senyum buat Ibu!
Saat ini , jemari mungil yang menorehkan tinta rindu pada sepucuk surat untukmu telah lelah menunggu dikau. Kerinduan tak dapat terlampiaskan hanya lewat tulisan ini. Untuk itu, ukiran kepolosan ananda di epucuk surat mungil ini akan berganti menjadi kecupan bahagia, tak berujung adanya, jika kau terus memunajatkan aku, kini dan nanti. Biar rindu redam hilang oleh lantunan doamu selepas kau menerima surat ini.                                                                                                                                                        

Salam hangat,


                                                                                               Astiwi Safitri
                                Anak manis Ibu

4 komentar

Setiap ibu akan meminta pada anaknya, "Dalam hidup jangan pernah menyerah."

betul kak :)

mksih sudah mampir baca-baca .. hehe

waini
bagus gan..
ada kaitan nya sama blog saya
http://alexanderstef.blogspot.com/

baca sangat membingungkannnn tntuk isinya sudah bagus tapi itu loh tulisannya masih ngga enak dibaca jadi cepet bosen kalau membacanaya

salam